Breaking News

Agar Canda Menyehatkan dan Mencerahkan

Sebagian Muslimin ada yang memahami agama Islam adalah agama yang membenci tawa, canda dan hiburan, ajaran Islam mengharuskan penganutnya senantiasa bersikap ‘serius’ dan ‘kaku’ dalam setiap kondisi. Pemahaman ini terbentuk karena beberapa faktor diantaranya fenomena sikap sebagian orang-orang yang menganggap dirinya ‘agamis’, sikap kasar dan ‘kaku’ dalam bersikap, berkata dan berinteraksi. Faktor lain, karena keliru memahami beberapa nash Al-Qur’an dan hadits, misalnya keliru memahami hadits Rasul saw: ‘jangan memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu bisa mematikan hati’. (HR. Ahmad).  Hadits lain misalnya: ‘celaka bagi orang yang bercerita agar manusia tertawa maka ia berdusta, celaka baginya, celaka baginya”. (HR. Ahmad). Apa yang dilarang Rasul dalam hadits tersebut adalah tawa yang berlebihan dan guyonan dusta.

Kebutuhan manusia

Tertawa adalah kekhususan sifat manusia. Hewan tidak bisa tertawa, karena tawa adalah respon dari satu bentuk pemahaman terhadap perkataan, gambar atau sikap yang dilihat atau didengar yang menyebabkan tawa.

Islam sebagai agama fitrah tidak mencerabut kecenderungan manusia terhadap canda, rehat dan tawa, Islam menyambut segala perkara yang bisa menjadikan hidup terasa indah, dan menginginkan agar seorang Muslim memiliki rasa optimis dan indah, dan tidak menyukai seorang Muslim berkarakter pesimis dan negatif yang selalu melihat manusia dan kondisi di sekitarnya dengan pandangan hitam dan negatif.

Kabutuhan manusia terhadap canda adalah kebutuhan fitrahnya. Jika dikatakan bahwa hukum dasar canda dan tawa itu tercela, maka Imam Ghazali pernah menjawab pernyataan serupa dengan: “Tetapi Dunia itu seluruhnya canda dan main-main, dan bersenang-senang dengan istri juga termasuk canda kecuali al-hiratsah (menggauli istri) sebagai sebab lahirnya keturunan, begitu juga canda yang tidak mengandung keji hukumnya halal, hal tersebut juga disampaikan Rasulullah dan para Sahabatnya.

Canda dan hiburan bisa membuat hati rehat, meringankan beban pikiran, dan tabiat hati jika lelah bisa membuta. Mengistirahatkan hati bisa membuatnya kembali semangat dan kuat. Siapa yang senantiasa berfikir, melakukan kerja pikiran misalnya perlu berlibur sehari, karena libur sehari bisa membuatnya semangat menjalankan hari-hari berikutnya. Karena itu juga mengapa Islam melarang untuk melakukan shalat dalam waktu-waktu tertentu, tidak sepanjang waktu boleh shalat. Kondisi ‘libur’ bisa menolong seseorang untuk semangat melakukan amal. Tidak ada seorangpun yang mampu bersabar dalam kondisi terus serius, karena komitmen senantiasa dalam kebenaran itu bisa terasa pahit kecuali bagi para Nabi dan Rasul.

Canda atau hiburan itu bisa menjadi obat kepenatan, karena itu hukumnya boleh, namun tidak sepatutnya memperbanyak canda dan tawa, sebagaimana minum obat juga harus sesuai takaran, tidak boleh over dosis. Maka berhibur dengan niat seperti disebutkan diatas bisa menjadi ibadah. (Ihya Ulumuddin, bab pendengaran).

Ada yang berdalil tentang keharaman canda dan gurau dengan ayat yang berbunyi: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. (QS. Luqman: 6). Pendapat haramnya canda dan guaru berdasarkan ayat tersebut tidak benar, karena ayat tersebut tidak mencela canda dan gurau, namun mencela siapa yang menjual hiburan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT dan menghina-Nya. Maka yang dicela dalam ayat tersebut adalah maksud atau tujuan dari canda dan guaru tersebut, bukan canda dan guarunya. Al-Qur’an menggandengkan canda dan gurau dengan perniagaan –yang dilegalkan secara syari’at- dalam firman Allah SWT: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah)”. (QS. Al-Jum’ah: 11).

Keteladanan Rasulullah

Teladan terbaik dalam hal ini adalah Rasulullah saw. Meski beragam pikiran dan problematika dakwah yang beliau hadapi, beliau sesekali bercanda dan berhibur dengan benar (jujur), hidup di tengah para Sahabatnya dengan seyogiyanya, terlibat dengan mereka dalam suka, canda dan tawa sebagaimana terlibat dengan mereka dalam duka dan kesedihan.

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, beliau pernah diminta untuk menceritakan kondisi Rasulullah saw. Maka beliau mengatakan: “Aku adalah tetangga Rasulullah, aku yang menulis wahyu yang turun kepadanya, maka jika kami berbicara tentang Dunia, beliau berbicara juga dengan kami, dan jika kami berbicara tentang Akhirat, beliau berbicara juga dengan kami, dan jika kami berbicara tentang makanan, iapun berbicara dengan kami”. (HR. At-Tabrani). Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah saw adalah orang yang paling humoris. (HR. At-Tabrani).

Suatu ketika beliau bergurau dengan seorang perempuan tua renta yang meminta didoakan agar masuk Surga. Maka Rasulullah bilang: “Wahai ibu Surga tidak akan dimasuki oleh orang tua renta”. Maka perempaun tersebut menangis karena memahami perkataan Rasulullah secara zahir (tekstual), maka Rasulullah memahamkan kepadanya bahwa memang di Surga nanti tidak ada orang tua renta, karena semuanya adalah orang-orang muda. Beliau membacakan firman Allah SWT: Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan”. (QS. Al-Waqi’ah: 35-27). (HR. At-Tabrani)

Batasan canda dan hiburan

Canda dan hiburan merupakan perkara yang diperbolehkan agama. Itu karena kebutuhan fitrah manusiawi kepada rehat yang bisa meringankan beban hidup dan permasalahannya. Imam Ali ra berkata: “Istirahatkan hati dan carilah baginya hiburan hikmah, karena hati bisa lelah seperti fisik. Canda dan hiburan ini juga berperan untuk kembali menghadirkan semangat dan kekuatan agar bisa terus melanjutkan amal dan perjalanan, sebagaimana seorang yang mengistirahatkan hewan kendaraannya agar perjalananan bisa kembali dilanjutkan. Namun demikian ada beberapa syarat dan batasan canda dan hiburan yang perlu diperhatikan:
  1. Agar tidak ada dusta. Rasulullah saw bersabda: “Celaka bagi orang yang bercerita kemudian ia berdusta agar manusia tertawa, celaka baginya, celaka baginya”. (HR. Ahmad). Rasulullah jika berguyon ia selalu berkata jujur.
  2. Tidak mengandung cacian dan makian terhadap orang atau pihak lain, kecuali jika ia meridhai. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) “. (QS. Al-Hujuraat: 11). Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah menjadi perbuatan buruk seseorang jika ia mengejek saudaranya sesama Muslim”. (HR. Muslim)
  3. Canda yang tidak membuat takut dan panik. Abdurrahman bn Abu Ya’la berkata: “Sahabat Rasulullah menceritakan kepada kami: Ketika mereka dalam perjalanan bersama Rasulullah saw, seorang diantara mereka berdiri, sebagian Sahabat menuju bukit bersamanya dan mengagetkannya, ia menjadi panik, maka Rasulullah bersabda: tidak halal bagi seorang Muslim untuk menakuti saudaranya sesama Muslim”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan juga dari Nu’man bin Basyir, beliau berkata: “Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan, seorang Sahabat mengantuk di atas kendaraannya, ada seorang Sahabat yang mengeluarkan busur panah dari tempatnya, kagetlah Sahabat (yang mengantuk) tersebut, maka Rasulullah bersabda: “Tidak sepatutnya bagi seorang Muslim menakuti saudaranya”. (HR. At-Tabrani).
  4.  Canda dan gurau pada tempatnya, tidak bergurau dalam situasi dan kondisi yang mengharuskan serius, tidak tertawa dalam situasi dan kondisi yang mengundang kesedihan. Setiap sikap ada situasi dan kondisi tersendiri, sebagaimana setiap tempat ada pernyataan dan sikapnya tersendiri. Termasuk kearifan adalah meletakkan perkara pada tempatnya. Allah SWT mengecam sikap Musyrikin yang tertawa ketika mendengar lantunan Al-Qur’an, padahal seharusnya mereka menangis. “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? “. (QS. An-Najm: 59-61). Sebagaimana mereka dikecam karena menghina dan mencemooh Kaum mukminin. “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira”. (QS. Al-Muthaffifin: 29-31).
  5. Canda dan tawa sewajarnya, batasan wajar yang diterima fitrah dan hati yang sehat, canda yang bisa memberi dampak positif dan semangat beramal, serta tidak mengenyampingkan hak-hak Allah SWT dan makhluk. Islam tidak menyukai sikap berlebihan dan sikap melampaui batas dalam ibadah sekalipun, apalagi dalam hal senda gurau. Maka Rasulullah melarang dalam haditsnya: “Jangan banyak tertawa, karena banyak tawa itu bisa mematikan hati”. (HR. Ahmad). Imam Ali ra pernah berkata: “Hadirkan canda dalam pembicaraanmu, seperti engkau memberikan garam dalam makananmu”. Wallahu a’lam.
Sumber : ikadi.or.id

Tidak ada komentar