Santun Itu Akhlaknya Nabi

‘Bego’
APA yang sahabat rasakan saat membaca empat huruf di atas? Ya, itu adalah deretan huruf, bukan empat batang lidi yang dibariskan atau bukan juga deretan coklat toblerom yang membuat kepingin.

Tentu akan berbeda deretan huruf dengan deretan lidi dan deretan coklat batang. Lidi yang dideretkan akan tetap begitu, terlihat oleh mata tapi tanpa rasa, baik di hati atau di pikiran. Sedang deretan coklat mungkin akan membuat air liur menetes atau tiba-tiba jadi lapar.

Tapi deretan huruf, akan selalu berubah, tergantung kombinasi yang disajikan. beberapa huruf yang dideretkan akan menciptakan bahasa. Ia akan menciptakan kesal apabila membentuk bahasa yang menyinggung. Ia menciptakan sedih bila tersaji dalam cerita mengharu biru. Atau bisa juga membuat yang membacanya tertawa terbahak.

Lalu bagaimana dengan empat kata tadi, ‘bego!’ jika kata itu diutarakan secara lisan? Misal dirangkai dengan sebuah kalimat berpesan positif seperti ini.

“Bego! Menaruh motor tuh jangan sembarangan, bisa hilang!

Lihat kalimat di atas apa kira-kira respon si lawan bicara? Mungkin akan begini.

“Suka-suka gue G*b**k, motor-motor gue!”

Sahabat lihat efeknya? Pesan tidak tersampaikan, bahkan menciptakan kalimat balasan yang mengesalkan. Ini bisa merusak silaturahmi. Meskipun pesannya baik dan benar, tapi kata-kata kasar itu cukup dapat merusak semua hal positif yang akan dibangun. Bahkan menulari yang mendengarnya. Pendengar yang diberi pesan akan melemparkan kalimat yang sama kasarnya.

Lalu bagaimana bila tanpa kata kasar di atas? Seperti berikut

“Itu motor kamu? Kok ditaruh sembarangan, memang tidak takut hilang?”

“Eh iya, benar saya ceroboh. Ya dah, saya masukin dulu ya.”

Lihat efeknya? Yang dipesan bukan hanya mematuhi perintah, tapi juga mengakui kesalahannya. Ia ‘ceroboh’.
Menurut sahabat, mana cara yang lebih cerdas?

Lalu bagaimana dalam dunia maya di sebuah sosial media? Apa berpesan dengan kata-kata kasar akan efektif, atau sebaliknya? Memancing kalimat kasar yang lainnya, sehingga membuat pembacanya jadi jengah lalu mengunfriend satu-satu?

Maka seperti apa kenyamanan lingkungan bersosial media yang didiami adalah tergantung pada kecerdasan penghuninya dalam merangkai kata.

Jadi kenapa kita wajib santun saat bersosial media?

Sebab ‘santun’ itu cerdas, nyaman dan damai. Santun itu akhlaknya Nabi.
Sumber : www.islampos.com

Post Comment